Namaku
Devi, aku mahasiswi fakultas sosiologi disalah satu universitas di daerah Jakarta. Setiap hari, aku biasanya berangkat kuliah dengan menaiki bus kota karena jarak
rumahku dengan universitas tempatku kuliah lumayan jauh. Entah sudah berapa
puluh kali aku naik bus kota itu. Begitu seringnya, sampai-sampai dari para
pedagang hingga pengemis yang suka berkeliaran di terminal hampir aku tahu
semua.
Hari itu sungguh membangkitkan rasa ingin tahuku. Karena itu, ketika wanita itu sedang berdiri sendirian di ujung gerbang, kudekati dia dengan pura-pura ingin beli.
Begitulah sedikit ceritaku, dan semoga ini juga
bisa menjadi semangat kalian untuk berjuang merubah nasib untuk yang lebih
baik. Kita jangan menyerah dan pasrah terhadap keadaan ekonomi. Masih banyak
orang-orang diluar sana yang lebih membutuhkan dari pada kita. Bersyukurlah
terhadap nikmat yang ada. Dan ingat, kita harus tetap saling berbagi, mengasihi
dan menyayangi terhadap sesama.
Ada
salah seorang dari beberapa pengemis di terminal itu yang lekat betul dengan
ingatanku. Dia perempuan tua, berambut lurus, dan berkulit hitam. Setiap kali
mengemis, perempuan itu selalu berjalan menelusuri tiap-tiap bus kota di
terminal tanpa alas kaki sambil menggendong anak kecil. Sering muncul rasa iba
dalam hatiku melihat anak kecil itu. Mestinya anak kecil itu bisa merasakan
tidur yang nyenyak tanpa gangguan, dalam suasana sehat. Mestinya ia tidak harus
terlibat dengan suasana terminal yang selalu ramai seperti ini. Untungnya anak
itu tidak pernah merasa terusik oleh profesi ibunya dan keadaan sekeliling.
Akan
tetapi, suatu hari tiba-tiba aku menyaksikan perubahan yang mengherankan pada
wanita pengemis itu. Pengemis itu tidak lagi menjadi seorang pengemis. Dia
sekarang beralih menjadi penjual gorengan. Aku heran campur kagum. Padahal
seminggu lalu, ketika aku di terminal ini, aku masih melihat dia menjalankan
profesi lamanya sebagai pengemis.
Kok,
bisa berubah begitu cepatnya? Tanya diriku dalam hati. Sebenarnya rasa heranku
itu didasari rasa senang. Aku merasa, perubahan profesi itu sangat bagus.
Karena pikirku, lebih baik menjadi pedagang dari pada harus meminta belas kasih
dari orang lain.
Hari itu sungguh membangkitkan rasa ingin tahuku. Karena itu, ketika wanita itu sedang berdiri sendirian di ujung gerbang, kudekati dia dengan pura-pura ingin beli.
“Berapa
harga gorengannya bu?” tanyaku.
“Lima
ratus rupiah mba.” jawabnya ramah.
“Yasudah,
saya beli tiga ribu deh, campur saja bu, cabainya yang banyak.” sahut diriku.
“Iya
mba.” jawab ibu itu.
“Oh
iya, sejak kapan ibu jualan gorengan? Bukankah seminggu yang lalu ibu belum
berjualan?” tanyaku perlahan, takut menyinggung perasaannya.
Perempuan
itu tampak terkejut.
“Dari
mana mba tahu?” tanyanya.
“Saya
penumpang setia bus kota di terminal ini. Saya sering sekali naik bus dari
terminal ini, makanya saya tahu betul kondisi disini, dari para pedagang,
pengamen, hingga pengemis yang biasa berkeliaran di terminal ini. Saya senang
dan kagum melihat semangat ibu mengubah nasib.”
“Ah,
saya kira itu biasa. Siapa orang di dunia ini yang ingin menjadi pengemis
seumur hidupnya?”
“Iya
bu, benar itu. Tapi kenapa tidak dari dulu ibu melakukannya?”
“Karena
saya tidak punya modal untuk berjualan.”
“Kan
bisa pinjam modal dari orang lain bu?”
“Sulit
mba. Mereka tidak percaya sama orang miskin kayak saya. Karena mereka takut
saya tidak bisa mengembalikan pinjaman.”
“Maaf.
Lalu bagaimana ibu bisa berjualan seperti ini? Dapat modal dari mana?” tanyaku
heran.
Lalu,
perempuan itu tersenyum.
“Saya
kumpulkan sebagian uang dari belas kasihan orang-orang. Dan ini hasilnya. Karena
bagaimana pun juga, saya menginginkan perubahan nasib yang lebih baik. Semula
saya tak pernah bermimpi melakukan pekerjaan rendah itu. Keadaan dan tanggung
jawablah yang menuntut saya melakukannya. Suami saya hanya buruh tani, sedang
anak-anak butuh makan.” Ujarnya sambil mengasih gorengan pesananku tadi
kepadaku.
Aku
termenung mendengar ucapan ibu itu. Hidup itu memang keras. Tiba-tiba aku
teringat akan keadaanku sendiri. Aku sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita
itu. Bedanya, aku berusaha mengubah nasib dengan kuliah. Tapi aku tak pernah
menyesal. Bahkan kini aku lebih bersyukur karena ternyata aku masih bisa terus
berkuliah walaupun aku hidup sederhana.
“Tidak
ada kembaliannya mba. Apa tambah gorengannya lagi biar pas uangnya?” Tanya ibu
itu sambil menyodorkan kembali uang yang baru kuberikan.
“Tidak
usah bu, gorengan ini sudah cukup buat saya. Yasudah, kembaliannya ibu ambil
saja.” Kataku.
“Terima
kasih mba.” balas ibu itu dengan senyum.
Dan
hari itu aku pulang kerumah dengan snyum dan hati yang lebih bahagia. Bahagia
karena bisa membahagiakan orang lain, meski hanya kecil. Memberi dorongan
semangat pada ibu yang ulet itu untuk terus melanjutkan perjuangannya.
Sementara aku sendiri memperoleh dorongan semangat darinya.
Beberapa
hari kemudian setelah hari itu, aku kembali bertemu ibu itu di terminal.
Seperti orang yang sudah sangat akrab, ibu itu menegur diriku yang baru saja
turun dari bus kota.
“Mba?”
sahut ibu itu.
Aku
pun menoleh kebelakang, dan menghampirinya.
“Iya?
Ada apa bu?” jawabku.
“Oh
nggak kenapa-kenapa mba. Saya cuma menegur mba saja.” jawabnya.
“Oalah,
saya kira ada apa.” Sahut diriku.
“Oh
iya mba, ini saya kasih gorengan saya. Kebetulan tinggal sedikit, ini buat mba
aja.” Sahut ibu itu sambil menodongkan plastik berisi penuh gorengan.
“Wah,
terima kasih banyak nih bu. Tapi saya sudah kenyang, tadi sudah makan di kantin
kampus.” Jawabku.
“Yasudah,
terima saja mba. Ambil aja bawa pulang, buat adik-adik mba.”
“Hmm...
Okelah bu, ini saya ambil. Terima kasih banyak ya bu.” Sahutku.
“Iya,
sama-sama mba. Saya cuma bisa ngasih sedikit saja dari rezeki saya hari ini.
Jangan dilihat hasilnya, tapi lihatlah keikhlasannya.” Jawab ibu itu.
Posting Komentar