Topics :

Hukum Perikatan Perjanjian


BAB I
PENDAHULUAN

A.    PERIKATAN PADA UMUMNYA
Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Istilah perikatan tersebut lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan diartikan sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Namun, sebagaimana telah dimaklumi bahwa buku III BW tidak hanya mengatur mengenai ”verbintenissenrecht” tetapi terdapat juga istilah lain yaitu ”overeenkomst”.

Hukum Perlindungan Saksi dan Korban "WHISTLE BLOWER"

WHISTLE BLOWER

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sulit untuk di berantas karena pelaku tindak pidana korupsi biasanya mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat, sehingga tindak pidana korupsi tergolong sebagai “white collar crime, crimes as business, economic crimes, official crime dan abuse of power.

Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah seperti wabah penyakit yang telah menjangkit dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diartikan bagi pejabat Negara atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, namun saat ini masalah korupsi tidak hanya bagi pejabat negara atau pegawai negeri tetapi telah melibatkan berbagai lembaga seperti anggota legislative, yudikatif, para banker, konglomerat dan korporasi.

Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat secara langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut “whistleblower” dan “Justice Collaborator”.

Belakangan ini, sepertinya aib birokrasi satu persatu mulai dibuka oleh orang-orang yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah itu sendiri kemudian membukanya kedepan umum dengan alasan kejujuran yang mungkin sudah sangat langka di negeri ini. Kasus Cek Pelawat Agus Condro, Nazarudin dan Waode Nurhayati adalah contoh yang menjadi pembicaraan karena berhubungan dengan dua simbol negara ini. Agus Condro merupakan anggota DPR saat itu melaporkan telah terjadi suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, sedangkan Nazarudin adalah salah seorang petinggi “Partai Penguasa” dan Waode Nurhayati adalah salah satu anggota DPR RI dan terakhir kasus Angelina sondakh yang juga merupakan anggota DPR RI.
Kasus-kasus di atas tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang dinamakan Whistleblower dan Justice Collaborator dimana para pelapor merupakan salah satu pelaku dari tindak pidana korupsi dan mau bekerjasama dalam menuntaskan dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.

Pemberitaan tentang whistleblower menjadi suatu kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum, secara khusus bagi pemberantasan korupsi. Tentu nilai kejujuran dari seseorang whistleblower perlu dicontoh dan tetap dijunjung tinggi, mengingat kemauan berkata jujur sangat susah didapat saat ini. Semangat seperti ini sebenarnnya harus dipacu pertumbuhannya sehingga dapat dijadikan awal untuk menghabisi para koruptor.

Whistleblower sebenarnya adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun pemahaman kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower bisa saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan, mencari sensasi, maling teriak maling. Umumnya para pelaku koruptor tidak terlalu senang atas keberadaan seorang whistleblower, karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-waktu dapat menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah fakta yang telah pernah terjadi.

Publik mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi apa yang terjadi? Susno Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya seorang Susno Duadji juga melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena berdasarkan hal yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum atau orang-orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa negara ini tidak maju-maju.

Di Indonesia ada kecenderungan jika seseorang mencoba melawan kekuasaan, maka niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimal akan dikucilkan. Pengalaman selama ini, justru memperlihatkan bahwa posisi saksi sangat rawan dan mudah berubah menjadi tersangka, apalagi saksi tersebut lemah dalam mengungkapkan fakta-fakta yuridis. Pelaku korupsi sering kali mempergunakan berbagai cara untuk menyerang saksi, salah satu cara tersebut adalah "upaya pencemaran nama baik.”

Dengan kedudukan ekonomi dan posisi politik yang sangat kuat sangat mudah bagi pelaku tindak pidana koruspi untuk menyerang balik saksi pelapor atau pengungkap fakta bahkan dapat saja berbalik saksi pelapor menjadi tersangka baik dalam kasus tersebut maupun dalam kasus-kasus yang lain.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah kasus saksi pelapor yang dimejahijaukan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kasus utama yang dilaporkan itu sama sekali tidak diutak-atik. Catatan yang dibuat sejak 1996 tersebut menunjukkan bahwa 80% kasus yang dilaporkan terjadi di luar DKI Jakarta. Dari data tersebut, 24 kasus pelaporan korupsi berbalik mengenai para saksi menjadi kasus pencemaran nama baik.

Kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas praktik korupsi. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Kasus Whistleblower sebenarnya bukan hal baru di dunia ini, namun di Indonesia masalah Whistleblower belum mendapatkan tempat , karena peranan whistleblower sebagai pengungkap fakta malah disudutkan. Berbeda dengan whistleblower di negara lain, Chintya Cooper, seorang internal audit yang mengungkap kasus Worldcom disebut sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya dalam mengungkapkan kasus tersebut mengantarkannya termasuk salah seorang People of The Year versi Majalah Time. Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan lebih buruk bersama dengan whistleblower lainnya.

Berbeda halnya dengan di Indonesia, seperti kisah tentang seorang auditor BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan kasus korupsi. Begitu juga halnya dengan kasus Susno Duadji yang akhirnya disingkirkan melalui kasus pilkada Jawa Barat semasa dirinya menjadi kapolda Jawa Barat.

Whistleblower atau peniup peluit kasus-kasus korupsi masih belum mendapatkan perlindungan maksimal. Salah satu kendalanya yakni ada pada ranah penegak hukum. Faktor sumirnya ketentuan perlindungan participant whistleblower dan pemahaman yang terbatas dari penegak hukum telah mengakibatkan orang-orang yang mengungkap kejahatan, yang seharusnya mendapatkan penghargaan namun pada kenyataanya dijatuhi hukuman.


Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi maupun mafia peradilan, yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan harus diuji dahulu.

Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap sang whistleblower memang beralasan karena dalam sistem hukum di Indonesia belum mengenal apa yang dinamakan whistleblower. Dalam peraturan perundang-undangan juga belum ada yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan perlindungan terhadap whistleblower tersebut.

Sampai sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara implisit termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).

Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 10 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari SEMA ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang selama ini sangat tertutup rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang memberikan informasi dari dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum dan dibawa ke pengadilan untuk diadili.

UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal Pasal 10 menyebutkan:

(1)     Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2)     Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan.


Undang-Undang No.13 tahun 2006 Pasal 10 ayat (1) dan (2) tersebut dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower karena tidak memberikan perlindungan bagi whistleblower yang terlibat dalam kejahatan. Begitu juga SEMA No.4 Tahun 2011 belum dapat memberikan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta atau whistleblower dan justice collaborator.

SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut hanya untuk memberikan semangat perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator, namun tetap dihukum jika merupakan bagian dari pelaku.

Bagi aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa UU No. 13 tahun 2006 dan SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut belum dapat memberikan perlindungan secara hukum bagi kebaradaan whitleblower. SEMA No.4 tahun 2011 juga hanya berlaku intern dikalangan hakim sebagai bahan pertimbangan yang meringankan untuk memutus perkara whistleblower dan justice collaborator yang terlibat dalam kasus.

Belum adanya perlindungan secara yuridis terhadap sang whistleblower dan Justice collaborator memang                            dikhawatirkan akan memutus generasi whistleblower yang baru. Padahal jika mau jujur, demi penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, peranan sang whistleblower dan Justice Collaborator menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk dijadikan alat membuka sindikat mafia koruptor.

Peranan sang whistleblower dan Justice collaborator dalam membuka para sindikat koruptor besar selama ini tidak terpikirkan dan tidak terduga. Gayus Tambunan pegawai biasa golongan III/A di Dirjen Pajak melakukan hal yang diluar kebiasaan atau luar biasa mempunyai uang miliaran rupiah hasil dari mafia perpajakan diungkap oleh whistleblower.

Berdasarkan  persoalan  di  atas  maka  kita mencoba mengurai bagaimana bentuk perlindungan terhadap Whistleblower dan justice collaborator serta bagaimana perlindungan hukumnya yang ideal di Indonesia. Diharapkan dengan adanya perlindungan hukum bagi kehadiran whistleblower dan justice collaborator dapat dijadikan salah satu upaya untuk memberantas pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.


Potret Perlindungan Whistle Blower di Indonesia

Istilah whistle blower menjadi popular semenjak digencarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia sebagai terobosan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi (extra ordinary crime). Pasalnya perkembangan modus kasus korupsi semakin meluas, merajalela dan semakin canggih baik di sektor publik maupun swasta yang mana berdampak pada moralitas norma anak bangsa sehingga membutuhkan strategi dan metode baru dalam menangani kasus ini.

Istilah whistle blower dalam Bahasa Inggris arti peniup peluit atau saksi pelapor, dikatakan demikian layaknya dalam pertandingan sepak bola seorang wasit meniup peluit sebagai pengungkapan fakta akan adanya suatu pelanggaran. Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia artinya saksi mahkota, maksudnya salah satu pelaku tindak pidana dijadikan sebagai saksi kunci untuk mengungkapkan pelaku- pelaku siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut dengan di imingi hadiah berupa pengurangan ancaman hukuman.

Seorang Whistle blower perlu diapresiasi setinggi- tingginya dengan keberanian dan semangat tinggi dalam mengungkap pelaku tindak pidana korupsi, sehingga kehadirannya dijadikan awal suatu kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum untuk menumpas para koruptor.

Bagaimana tidak? keberhasilan seorang penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan seorang melakukan tindak pidana korupsi bergantung pada salah satunya keterangan saksi. Sebab, seorang saksi memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan dialaminya tentang kejadian/peristiwa tersebut.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) memang belum memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan seorang pelapor whistle blower, namun ketidak jelasan pengertian tersebut tentu tidak menghilangkan hak- hak yang mereka dapatkan sebagai seorang whistle blower, pasalnya kedudukannya mereka hakikatnya sama sama dianggap sebagai seorang saksi ketika melaporkan suatu kasus tersebut.

Namun kenyataannya, mereka (whistle blower) dalam mengungkap tindak pidana korupsi mengalami berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak bersangkutan seperti ancaman fisik, ancaman psikis, ancaman pelaporan balik, bahkan ancaman diberhentikan dari jabatannya secara tidak hormat.

Kriminalisasi para pelapor tindak pidana korupsi semakin nyata, di sini lah letak kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK RI) memiliki peran yang strategis dalam melindungi seorang whistle blower berupa hak untuk untukcmemperoleh perlindungan atas keamanan pribadi keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan laporan, kesaksian, yang akan, sedang dan telah diberikannya, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hingga bantuan mendapatkan penasehat hukum supaya mereka memiliki keberanian untuk melanjutkan pengungkapan, memberikan keterangan/kesaksian hingga berujung pada persidangan di pengadilan Tipikor.
Peran saksi whistle blower sangat dibutuhkan dalam mengungkap mafia kasus korupsi, lebih- lebih negara dihadapkan dengan menguatnya kompetensi perekonomian makro, liberalisasi politik hingga pemberantasan yang digencarkan oleh penegak hukum ataupun berbagai kalangan yang mana akan berpengaruh pada perbaikan- perbaikan di bidang ekonomi, politik, sosial dan hukum.

LPSK menjadi salah satu lembaga yang diharapkan dapat melindungi whistle blower karena tugas dan fungsinya yang melindungi saksi dan korban, sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK dalam praktiknya menerima permohonan perlindungan dan meminta bantuan dari seorang whistle blower untuk mendampingi mereka untuk melaporkan kejahatan yang mereka ketahui ke aparat penegak hukum.

Melihat peran seorang whistle blower yang begitu signifikan di hadapan hukum, namun dalam realitanya ancaman dan intimidasi terhadap para whistle blower masih tinggi. Di tahun 2013 Susno Djuaji mengungkapkan skandal rekayasa perkara yang membebaskan Gayus Tambunan dari dakwaan pencucian uang dan mafia pajak yang ada kaitanya dengan rekening gendut di rekening para petinggi Polri. Namun apa yang terjadi dalam pengungkapannya? Malahan Susno Djuaji dilaporkan balik atas tuduhan kasus Arwana dan Kasus Pilkada Jabar yang dihukum 3,5 tahun pidana penjara. Di sini terlihat bahwa para penyidik kurang memperhatikan waktu yang tepat untuk kasus yang berbeda yang dialami oleh Susno Djuaji sebagai whistle blowerdalam kasus Arwana dan Pilkada Jabar, sehingga berdampak pada membungkamnya kehadiran whistle blower lainnya karena pelaporan kasus Susno Djuaji dapat diduga sebagai pembalasan oleh para oknum pelaku yang dilaporkan oleh whistle blower.

Selanjutnya di tahun 2016 yang di lansir oleh Institute for Criminal Justice Reform, kasus ancaman whistle blower, dimana 10 orang pelapor kasus Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan yang melaporkan dugaan suap kepada anggota DPRD Kabupaten Tanggamus terkait dengan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016 mengalami serangan balik/ intimidasi yaitu diancam secara fisik, ancaman psikis, dan ancaman administrasi berupa peringatan adanya Pergantian Antar Waktu sebagai anggota DPRD, hingga ancaman karir terhada keluarga para pelapor yang menjadi PNS di Pemkab Tanggamus.

Secara yuridis, UU (13/2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) menempatkan seorang pelapor di posisi terlindungi hak- hak nya sebagai saksi. Namun dalam rumusan pasal 10 ayat (2), terdapat kelemahan yang mana penyidik menetapkan pelapor kasus korupsi menjadi tersangka, yang kemudian dilakukan penahanan secara sepihak tanpa memperimbangkan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana korupsi.

Di sisi lain, pasal 10 ayat (2) tidak memberikan kepastian hukum yang jelas terhadap keberadaan seorang whistle blower yang mana satu sisi memberikan perlindungan akan hak- haknya sebagai saksi, namun sisi lain, whistle blower tidak diberikan jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana.

Oleh karena itu, dukungan politik dan pemerintah untuk memperbaiki system pelaporan whistle blower dan memperkuat peran fungsi LPSK RI dalam melindungi whistle blower perlu dioptimalkan, sehingga sang pelapor dapat mengungkap kesaksiannya bebas, aman, dan mendapatkan kepastian hukum oleh negara.


Perlindungan Hukum Saksi Whistle Blower

Problem yang sering muncul dalam penanganan perlindungan seorang whistle blower adalah munculnya permasalahan baru yang seolah- olah permasalahan itu adalah bentuk pelanggaran dan umumnya ditangani penegak hukum secara berbeda. Posisi ini menimbulkan risiko benturan konflik kepentingan dimana orang yang dilaporkan oleh si whistle blower dengan segala usahanya melakukan upaya untuk menghalang- halangi langka si pelapor.

Oleh karena itu, pemerintah menjamin si whistle blower dalam mengungkap skandal kasus korupsi melalui peraturan- peraturan atau undang- undang demi mendapatkan kepastian hukum. beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Mahkamah Agung yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, point penting yang terkandung dalam SEMA ini yaitu memberikan reward berupa perlakuan khusus terhadap orang orang yang dikategorikan sebagai whistle blower dan saksi yang bekerja sama (justice collaborator).

Reward tersebut berupa keringanan pidana,dan jika yang dilaporkan melaporkan balik whistle blower maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh nya didahulukan dibandingkan laporan dari pihak lawan yang dilaporkan oleh whistle blower.

Di sisi lain, whistle blower juga dijamin oleh UU No. 31 Tahun 2014 j.o UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana dalam pasal 10, si whistle blower tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata dan laporan yang akan, sedang atau telah diberikan kecuali laporan kesaksiannya diberikan tidak dengan iktikat yang baik. Apabila whitsle blower terdapat tuntutan hukum terhadapnya maka penegak hukum wajib menundanya hingga kasus yang ia laporkan telah diputuskan oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tidak hanya itu, pasal 10 A UU (31/2014) semakin mengukuhkan kedudukan whistle blower dan LPSK, yang mana pemberian hak perlindungan kepada whistle blower berupa perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan khusus, dan memperoleh penghargaan. Semua hak itu dapat diperoleh oleh whistle blowerdengan persetujuan atau pemberian rekomendasi LPSK kepada Jaksa dan Hakim.

Dengan demikian, peran kapasitas LPSK dalam pemberian perlindungan kepada whistle blower samakin optimal sesuai dengan kebutuhan dalam mengadvokasi dan bekerja sama dengan lembaga lain, ke-eksisten ruang lingkup kerja LPSK berada pada proses peradilan pidana semakin diakui oleh undang- undang. Sehingga masyarakat semakin optimis dengan keberadaan LPSK.


Hambatan atau masalah apa saja yang muncul dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower)?

Beberapa hal yang menjadi hambatan dan masalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower), yaitu:

1.    Belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistle blower, undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor dan korban. Kalau pun ada hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA”) yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

2.    Belum adanya pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistle bower, kesepakatan bersama hanya di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah.

3.    Belum maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistle blower. Hal ini karena Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status seseorang sebagai whistle blower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya tidak punya kekuatan hukum mengikat.

4.    Peran LPSK masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


Konsep Dasar Politik Hukum



KONSEP DASAR POLITIK HUKUM
1.      Pengertian dan Ruang Lingkup Politik Hukum
A.    Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hokum merupakan terjemahan bahsa Indonesia dari istilah hokum Belanda rechtpolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek.

Asas-Asas Hukum Perdata


Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah :
1.  Asas kebebasan berkontrak,
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).

Makalah: Dinul Islam, Aqidah, Syariat Islam, Akhlak, Thaharah

 “DINUL ISLAM”
- Pengertian -
1.1 Secara Harfiyah
Pengertian Islam secara  harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama).

Nugroho Pangestu . Diberdayakan oleh Blogger.
 
Copyright © 2013-2017 Nugroho Pangestu. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website | CB Blogger | Nugroho Pangestu