Home » , » Hukum Perikatan Perjanjian

Hukum Perikatan Perjanjian

Posted by Nugroho Pangestu on Selasa, 08 Oktober 2019


BAB I
PENDAHULUAN

A.    PERIKATAN PADA UMUMNYA
Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Istilah perikatan tersebut lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan diartikan sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Namun, sebagaimana telah dimaklumi bahwa buku III BW tidak hanya mengatur mengenai ”verbintenissenrecht” tetapi terdapat juga istilah lain yaitu ”overeenkomst”.
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis dan overeenkomst, yaitu :

1.             Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
2.             Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.
3.             Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
1.                  perikatan.
2.                  perutangan.
3.                  perjanjian.

Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu :
1.                  perjanjian.
2.                  persetujuan.

            Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna terdalam arti istilah masing-masing. Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilah overeenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.




B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1.   Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan?
2.   Apa saja unsur dan macam dari perikatan itu?
3.   Bagaimana cara menghapuskan perikatan?


    
     C. Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2.   Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai unsur dan macam perikatan,
3.   Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.
    


     D. Manfaat Penulisan
1.   Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,
2.   Membuka wawasan tentang perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk jenis-jenis maupun cara penghapusannya,
3.   Memberikan fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PERIKATAN
Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW, walaupun telah jelas tertera bahwa Buku III BW mengatur tentang perikatan. Namun dalam pasal-pasal pada Buku III BW tidak dapat ditemukan satu pasalpun yang memberikan arti mengenai perikatan itu sendiri. Meskipun pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III KUH Perdata, tetapi pengertian perikatan diberikan oleh ilmu pengetahuan Hukum Perdata. Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. sedangkan pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Bila ditinjau lebih lanjut dari pengertian perikatan, maka dapat kita ketahui bersama bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan tergantung dari jenis persetujuannya. Untuk lebih dapat dipahami dapat dikemukakan dalam contoh berikut ini :
1.                  A menitipkan sepeda motornya dengan cuma-cuma kepada B, maka terjadilah perikatan antara A dengan B yang menimbulkan hak pada A untuk menerima kembali sepeda motornya tersebut dan kewajiban pada B untuk meyerahkan sepeda motor tersebut.
2.                  A menjual mobilnya kepada B, maka timbul perikatan antara A dengan B yang menimbulkan kewajiban pada A untuk menyerahkan mobilnya dan hak pada B atas penyerahan mobil tersebut. Selain itu juga menimbulkan kewajiban pada A untuk menerima pembayaran dan kewajiban pada B untuk membayar kepada A.
B.    UNSUR-UNSUR PERIKATAN
Dari pengertian-pengertian mengenai perikatan ,maka dapat diuraikan lebih jelas unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan yaitu :
1.      Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan melekat kewajiban pada pihak lainnya. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan, dan kesusilaan. Pengingkaran terhadap hubungan-hubungan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum.
Sebagai contoh :
A berjanji mengajak B nonton bioskop, namun A tidak menepati janjinya. A berjanji untuk kuliah bersama, tetapi A tidak menepati janjinya.
Suatu janji untuk bersama-sama pergi ke bioskop atau pergi kuliah bersama tidak melahirkan perikatan, sebab janji tersebut tidak mempunyai arti hukum. Janji-janji demikian termasuk dalam lapangan moral, dimana tidak dipenuhinya prestasi akan menimbulkan reaksi dari orang lain. Jadi hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan.

Untuk lebih jelasnya mengetahui apakah itu sebuah perbuatan hukum atau bukan.

·                      Kenyataan hukum adalah suatu kenyataan yang menimbulkan akibat hukum yaitu terjadinya, berubahnya, hapusnya, beralihnya hak subyektif, baik dalam bidang hukum keluarga, hukum benda, maupun hukum perorangan.
·                      Kelahiran adalah kenyataan hukum sedangkan akibat hukum adalah kewajiban-kewajiban untuk memelihara dan memberikan pendidikan; perikatan adalah akibat hukum dari persetujuan.
·                      Perbuatan-perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan dengan mana orang yang melakukan perbuatan itu bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat hukum.
·                      Perbuatan-perbuatan hukum yang bukan merupakan perbuatan-perbuatan hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum kepada perbuatan-perbuatan, dimana orang yang melakukannya tidak memikirkan sama sekali kepada akibat-akibat hukumnya. Pada pokoknya tidak bermaksud untuk menimbulkan akibat hukum. Perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum ini dibagi lagi menjadi dua yaitu perbuatan-perbuatan menurut hukum (misalnya, perwakilan sukarela dan pembayaran tidak terutang) dan perbuatan-perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata).
·                      Peristiwa-peristiwa hukum. Adakalanya undang-undang memberi akibat hukum pada suatu keadaan atau peristiwa yang bukan terjadi karena perbuatan manusia : pekarangan yang bertetangga, kelahiran, dan kematian.

1.      Kekayaan
Hukum perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht) dan bagian lain dari Hukum Harta Kekayaan adalah Hukum Benda.
Untuk menentukan bahwa suatu hubungan itu merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat ”dinilai dengan uang”. Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang, jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi nyatanya ukuran tersebut tidak dapat memberikan pembatasan, karena dalam kehidupan bermasyarakat sering kali terdapat hubungan-hubungan yang sulit untuk dinilai dengan uang, misalnya cacat badaniah akibat perbuatan seseorang.
Jadi kriteria ”dapat dinilai dengan uang” tidak lagi dipergunakan sebagi suatu kriteria untuk menentukan adanya suatu perikatan. Namun, walaupun ukuran tersebut sudah ditinggalkan, akan tetapi bukan berarti bahwa ”dapat dinilai dengan uang” adalah tidak relevan, karena setiap perbuatan hukum yang dapat dinilai dengan uang selalu merupakan perikatan.

2.      Pihak-pihak
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu yaitu kreditur dan debitur. Para pihak pada suatu perikatan disebut subyek-subyek perikatan, yaitu kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas prestasi. Kreditur biasanya disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakuka tindakan-tindakan tertentu terhadap debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Tindakan-tindakan kreditur dapat berupa memberi peringatan-peringatan menggugat dimuka pengadilan dan sebagainya.
Debitur harus selalu dikenal atau diketahui, hal ini penting karena berkaitan dalam hal untuk menuntut pemenuhan prestasi.Pada setiap perikatan sekurang-kurangnya harus ada satu orang kreditur dan sekurang-kurangnya satu orang debitur. Hal ini tidak menutup kemungkinan dalam suatu perikatan itu terdapat beberapa orang kreditur dan beberapa orang debitur.

3.      Objek Hukum (Prestasi)
Objek dari perikatan adalah apa yang harus dipenuhi oleh si berutang dan merupakan hak si berpiutang. Biasanya disebut penunaian atau prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. Wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesutau dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).
Pada perikatan untuk memberikan sesuatu prestasinya berupa menyerahkan sesuatu barang atau berkewajiban memberikan kenikmatan atas sesuatu barang, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.
Pada perikatan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu misalnya pelukis, penyanyi, penari, dll. Pada perikatan tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Misalnya tidak mendirikan bangunan ditanah orang lain, tidak membuat bunyi yang bising yang dapat mengganggu ketenangan orang lain, dll.
Objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu :
a.     Obyeknya harus tertentu.
Dalam Pasal 1320 sub 3 BW menyebutkan sebagai unsur terjadinya persetujuan suatu obyek tertentu, tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai dapat ditentukan. Karena perikatan dengan obyek yang dapat ditentukan diakui sah. Sebagai contoh yaitu Pasal 1465 BW yang menetukan bahwa pada jual beli harganya dapat ditentukan oleh pihak ketiga. Perikatan adalah tidak sah jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan. Misalnya, sesorang menerima tugas untuk membangun sebuah rumah tanpa disebutkan bagaimana bentuknya dan berapa luasnya.
b.     Obyeknya harus diperbolehkan
Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika obyeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang. Pasal 23 AB menentukan bahwa semua perbuatan-perbuatan dan persetujuan-persetujuan adalah batal jika bertentangan dengan undang-undang yang menyangkut ketertiban umum atau kesusilaan. Di satu pihak Pasal 23 AB lebih luas daripada Pasal-pasal 1335 dan 1337 BW, karena selain perbuatan-perbuatan mencangkup juga persetujuan akan tetapi di lain pihak lebih sempit karena kebatalannya hanya jika bertentangan dengan undang-undang saja. Kesimpulannya bahwa objek perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
c.       Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dijabarkan di atas yaitu perikatan adalah suatu hubungan hukum yang letaknya dalam lapangan harta kekayaan.
d.      Obyeknya harus mungkin.
Dahulu untuk berlakunya perikatan disyaratkan juga prestasinya harus mungkin untuk dilaksanakan. Sehubungan dengan itu dibedakan antara ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subyektif. Pada ketidakmungkinan obyektif tidak akan timbul perikatan sedangkan pada ketidakmungkinan subyektif tidak menghalangi terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan obyektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun. Contoh : prestasinya berupa menempuh jarak Semarang - Jakarta dengan mobil dalam waktu 3 jam.
Pada ketidakmungkinan subyektif hanya debitur yang bersangkutan saja yang tidak dapat melaksanakan prestasinya. Contoh : orang yang tidak dapat bicara harus menyanyi.
Perbedaan antara ketidakmungkinan obyektif dengan ketidakmungkinan subyektif yaitu terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan pada contoh pertama setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin dilaksanakan dan karena kreditur tidak dapat mengharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh debitur yang bersangkutan saja.
Dalam perkembangan selanjutnya baik Pitlo maupun Asser berpendapat bahwa adalah tidak relevan untuk mempersoalkan ketidakmungkinan subyektif dan obyektif. Ketidakmungkinan untuk melakukan prestasi dari debitur itu hendaknya dilihat dari sudut kreditur, yaitu apakah kreditur mengetahui atau seharusnya mengetahui tentang ketidakmungkinan tersebut. Jika kreditur mengetahui, maka perikatan menjadi batal dan sebaliknya, jika kreditur tidak mengetahui debitur tetap berkewajiban untuk melaksanakan prestasi.

A.    SCHULD DAN HAFTUNG
Pada setiap perikatan selalu terdapat dua pihak, yaitu kreditur pihak yang aktif dan debitur pihak yang pasif.
 
Pada debitur terdapat dua unsur, yaitu Schuld dan Haftung. Schuld adalah utang debitur kepada kreditur. Setiap debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepada kreditur. Karena itu debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan Haftung adalah harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut. Debitur itu berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan utang tadi, apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut. Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata, disamping hak menagih (vorderingerecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangya pada debitur itu (verhaalarecht). Schuld dan haftung saling bergantungan erat satu sama lain. Sebagai contoh : A berhutang pada B dan karena A tidak mau membayar utangnya, maka kekayaan A dilelang atau dieksekusi untuk dipergunakan bagi pelunasan hutangnya.

Asas bahwa kekayaan debitur dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang-utangnya tercantum dalam Pasal 1131 BW. Baik Undang-undang maupun para pihak dapat  menyimpang dari asas terebut, yaitu antara lain dalam hal :
1.                  Schuld tanpa Haftung.
Hal ini dapat kita jumpai pada perikatan alam (natuurlijke verbintenis). Dalam perikatan alam sekalipun debitur mempunyai utang (Schuld) kepada kreditur, namun jika debitur tidak mau memenuhi kewajibannya kreditur tidak dapat menuntut pemenuhannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan utang yang timbul dari perjudian. Sebaliknya jika debitur memenuhi prestasinya, ia tidak dapat menunut kembali apa yang ia telah bayarkan.
2.                  Schuld dengan Haftung Terbatas.
Dalam hal ini debitur tidak bertanggungjawab dengan seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh : ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar schuld daripada pewaris sampai sejumlah harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.
3.                  Haftung dengan Schuld pada orang lain.
Jika pihak ketiga menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh debitur kepada kreditur, maka walaupun dalam hal ini pihak ketiga tidak mempunyai utang kepada kreditur, akan tetapi ia bertanggungjawab atas utang debitur dengan barang yang dipakai sebagai jaminan.

A.    SUMBER-SUMBER HUKUM PERIKATAN
Mengenai sumber-sumber perikatan dapat diperlihatkan                        bagan dibawah ini :
-                      Perikatan (Psl 1233 BW)
-                      Perjanjian (Psl.1313 BW)
-                      UU Psl. 1352 BW
-                      UU saja (Psl. 104, Psl. 625 BW)
-                      UU dan Perbuatan Manusia (Psl.1353 BW)
-                      Perbuatan yang menurut hukum (Psl. 1354 dan Psl. 1359 BW) `
-                      Perbuatan yang melawan hukum (Psl. 1365 BW)
Dari bagan di atas dapat diketahui bahwa sumber pokok dari perikatan adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang & perbuatan manusia dan undang-undang saja. Sedangkan sumber dari undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang melawan hukum dan perbuatan yang menurut hukum.
Pasal pertama dari Buku III undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undang-undang. Pasal 1233 : ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata : ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen). Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal tersebut termasuk sebagai sumber-sumber perikatan.

B.    TEMPAT PENGATURAN HUKUM PERIKATAN
Ada perbedaan mengenai tempat hukum perikatan dalam Hukum Perdata. Apabila dilihat lebih jauh dari segi sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenal dua sitematika yaitu menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum dan menurut KUH Perdata.
Pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan hukum, yaitu :
a.                  Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi.
b.                  Hukum tentang keluarga/hukum keluarga
c.                   Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda.
·                            Hak Kekayaan Absolut
Hak Kebendaan
Hak Atas Benda-benda immateriil.
·                            Hak Kekayaan Relatif
d.                  Hukum waris.
Berdasarkan pembagian sistematika hukum perdata di Indonesia menurut doktrin atau ilmu pengetahuan, diketahui bahwa tempat hukum perikatan ada di bagian hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda. Mengenai hak-hak kekayaan yang absolut sebagian diatur dalam Buku II KUH Perdata dan sisanya diatur diluar, didalam undang-undang tersendiri, sedangkan hak-hak kekayaan yang relatif mendapat pengaturannya dalam Buku III KUH Perdata.
Perlu diingat, bahwa pembagian menurut KUH Perdata atau BW tidak sejalan dengan pembagian menurut doktrin atau ilmu pengetahuan.
Pembagian menurut KUH Perdata yaitu :
a.      Buku I tentang orang.
b.      Buku II tentang benda.
c.       Buku III tentang perikatan.
d.      Buku IV tentang pembuktian dan daluwarsa.
Berdasarkan pembagian sistematika hukum perdata di Indonesia menurut KUH Perdata telah jelas dimana letak hukum perikatan yaitu pada Buku III yaitu tentang perikatan.
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW. Dalam Buku III BW terdiri dari 18 bab dan tiap-tiap bab dibagi lagi menjadi bagian-bagian yaitu ketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum diatur dalam bab I, bab II, bab III, (hanya pasal 1352 dan 1353) dan bab IV. Sedangkan ketentuan-ketentuan khusus diatur dalam bab III (kecuali pasal 1352 dan 1353) dan bab V s/d bab XVIII. Ketentuan-ketentuan khusus ini memuat tentang perikatan atau perjanjian bernama.
Termasuk dalam ketentuan umum yaitu : Bab I mengatur tentang perikatan pada umumnya. Bab II mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian. Bab III mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang. Bab IV mengatur tentang hapusnya perikatan.
Bagian khusus adalah perjanjian-perjanjian khusus atau perjanjian-perjanjian bernama yang telah diatur dalam KUH Perdata dan KUHD. Hubungan antara KUH Perdata dan KUHD dapat diketahui dalam pasal 1 KUHD. KUHD mengatur perjanjian-perjanjian khusus yang lebih modern yang belum ada pada zaman romawi dulu, karena adanya pengaruhhubungan perdagangan internasional yang lebih efektif.
Bagian umum tersebut di atas merupakan asas-asas dari hukum perikatan, sedangkan bagian khusus mengatur lebih lanjut dari asas-asas ini untuk peristiwa-peristiwa khusus.
Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan sistem ”terbuka”, artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. Inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Tetapi keterbukaan itu dibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata. Pembatasan tersebut yaitu sebabnya harus halal, tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Serta dibatasi dengan pasal 1254 KUH Perdata yaitu syaratnya harus mungkin terlaksana dan harus susila.

C.     HAPUSNYA PERIKATAN
Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalam pasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan yaitu :
1.                  Pembayaran.
2.                  Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.                  Pembaharuan utang (inovatie).
4.                  Perjumpaan utang (kompensasi).
5.                  Percampuran utang.
6.                  Pembebasan utang.
7.                  Musnahnya barang yang terutang.
8.                  Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
9.                  Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
10.              Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Jadi dalam KUH Perdata ada sepuluh cara yang mengatur tentang hapusnya perikatan.

1.   Pembayaran
Yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan ”pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.  Ada beberapa  hal yang harus diketahui mengenai pembayaran yaitu :
a)                  Siapa yang harus melakukan pembayaran.
Menurut ketentuan KUH Perdata pasal 1382 ayat 1 bahwa perikatan dapat dibayar oleh yang berkepentingan seperti orang yang turut berutang atau seorang penanggung utang dan menurut ayat duanya bahwa pihak ketiga yang tidak berkepntingan dalam melakukan pembayaran dapat bertindak atas nama si berutang atau atas nama sendiri.

Kesimpulannya adalah pihak yang berwajib membayar yaitu :
-                                  Debitur.
Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang orang-orang selain dari debitur sendiri.
-                                  Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawanberutang (mede schuldenaar) dan seorang penanggung (borg).
Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya  debitur  atau  pihak  ketiga  itu  bertindak  atas  namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.
b)      Syarat untuk debitur yang membayar.
Pada suatu perjanjian penyerahan hak milik menurut pasal 1384 KUH Perdata maka agar penyerahan itu sah diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
-                      Orang yang membayarkan harus pemilik mutlak dari benda yang diserahkan.
-                      Orang yang menyerahkan berkuasa memindahtangankan benda tersebut.
c)      Kepada siapa pembayaran harus dilakukan.
Pembayaran menurut ketentuan dalam Pasal 1385 KUH Perdata harus dilakukan kepada:
-                      Kreditur.
Pertama-tama adalah kreditur yang berhak untuk menerima prestasi. Pasal 1387 KUH Perdata menentukan bahwa pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap untuk menerimanya adalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa kreditur telah memperoleh manfaat daripada pembayaran tersebut.
-          Orang yang dikuasakan oleh kreditur.
Pembayaran debitur kepada kuasa kreditur adalah sah. Debitur dapat memilih apakah ia akan membayar kepada kreditur atau kepada kuasanya. Jika kreditur menghendaki agar debitur membayar kepadanya, maka debitur harus memenuhinya, demikian juga jika kreditur menghendaki agar pembayaran dilakukan kepada kuasanya.
-          Orang yang dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran tersebut.
Wewenang yang diberikan oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur adalah misalnya, curator.
Dalam tiga hal pembayaran yang tidak ditujukan kepada kreditur atau kuasanya tetap dianggap sah, yaitu :
 (1)  Kreditur menyetujuinya,
 (2)  Kreditur mendapatkan manfaat,
 (3) Debitur membayar dengan itikad baik (Pasal 1386 KUH Perdata).
d)      Obyek pembayaran.
Pembayaran sebagian demi sebagaian dapat ditolak oleh kreditur. Undang-undang membedakan pembayaran atas :
-                      Utang barang species.
Debitur atas suatu barang pasti dan tertentu, dibebaskan jika ia memberikan barangnya dalam keadaan dimana barang itu berada pada waktu penyerahan.
-                      Utang barang generik.
Debitur atas barang generik tidak harus menyerahkan barang yang paling baik atau yang paling buruk.
-                      Utang uang.
Uang di sini harus diartikan sebagai alat pembayaran yang sah.
e)      Tempat pembayaran.
Apabila di dalam perjanjian tidak ditentukan ”tempat  pembayaran” maka pembayaran terjadi :
-                      Di tempat di mana barang tertentu berada sewaktu perjanjian dibuat apabila perjanjian itu adalah mengenai barang tertentu
-                      Pada  asasnya  pembayaran dilakukan  di  tempat  yang diperjanjikan.
-                      Di tempat kediaman kreditur, apabila kreditur secara tetap bertempat tinggal di kabupaten tertentu.
-                      Di tempat debitur apabila kreditur tidak mempunyai kediaman yang tetap.
Bahwa tempat pembayaran yang dimaksud oleh pasal 1394 KUH Perdata adalah bagi perikatan untuk menyerahkan sesuatu benda bukan bagi perikatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
f)       Waktu dilakukannya pembayaran.
Undang-undang tidak mengatur mengenai waktu pembayaran dan persetujuanlah yang menentukannya. Jika waktunya tidak ditentukan, maka pembayaran harus dilakukan dengan segera setelah perikatan terjadi.
g)      Subrogasi.
Penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya pembayaran disebut subrogasi. Atau dengan kata lain subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Menurut Pasal 1400 KUH Perdata subrogasi terjadi karena adanya pembayaran oleh pihak ketiga kepada kreditur. Dengan terjadinya subrogasi, maka piutang dengan hak-hak accessoirnya beralih pada pihak ketiga yang menggantikan kedudukan kreditur. menurut Pasal 1403 KUH Perdata subrogasi tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika pihak ketiga hanya membayar sebagian dari piutangnya. Contoh : A mempunyai utang Rp. 12.000.000,- kepada B dengan jaminan fidusia. Pihak ketiga C membayar sebagian utang A kepada B yaitu sebesar Rp. 8.000.000,- Jika kemudian barang yang difidusiakan tersebut dijual laku Rp. 9.000.000,- maka B akan mendapatkan pelunasan lebih dahulu yaitu sebesar Rp. 4.000.000,- dan sisanya Rp. 5.000.000,- baru untuk C.
Subrogasi dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang (pasal 1400 KUH Perdata). Subrogasi karena persetujuan terjadi antara kreditur dengan pihak ketiga atau debitur dengan pihak ketiga.
Subrogasi dapat terjadi karena persetujuan atau undang-undang kepada kreditur, harus dilakukan dengan tegas dan bersamaan dengan pembayaran. Undang-undang tidak mensyaratkan bentuk tertentu, cukup dengan menyebutkan subrogasi dalam suatu kuitansi. Subrogasi yang terjadi setelah pembayaran tidak menimbulkan akibat hukum, karena dengan terjadinya pembayaran perikatan menjadi hapus dan tidak mungkin lagi terjadi subrogasi.
Untuk ini undang-undang menentukan syarat-syarat yaitu :
(1) dibuat dua akta otentik, yaitu persetujuan meminjam uang dan tanda pelunasan utang,
(2) mengenai isinya masing-masing akta tersebut harus memenuhi apa yang diatur dalam Pasal 1401 ayat 2 KUH Perdata.
Pasal 1402 KUHPerdata menyebutkan empat cara terjadinya subrogasi berdasarkan undang-undang. Selain yang disebutkan dalam pasal tersebut di atas subrogasi dapat juga terjadi seperti tersebut dalam Pasal 1106, 1202 dan 1840 KUH Perdata.

2.      Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan.
a.                  Penawaran pembayaran.
Undang-undang memberikan kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utangnya karena tidak mendapatkan bantuan dari kreditur, untuk membayar utangnya dengan jalan penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan. Perkataan tersebut dalam Pasal 1404 KUH Perdata yang berbunyi ”Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan” menimbulkan kesan seolah-olah penawaran pembayaran hanya dapat dilakukan setelah adanya penolakan dari kreditur. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak mensyaratkan bahwa untuk sahnya penawaran pembayaran harus terlebih dahulu ada penolakan dari kreditur tetapi hanya mengemukakan bahwa dalam banyak hal penawaran pembayaran terjadi setelah adanya penolakan. Jadi penawaran dapat saja dilakukan sekalipun belum ada penolakan dari kreditur.
Pasal 1405 menentukan syarat-syarat untuk sahnya penawaran, yaitu :
1)      Penawaran harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya,
2)      Dilakukan oleh orang yang berwenang untuk membayar,
3)      Penawaran harus meliputi :
-               seluruh uang pokok,
-               bunga,
-               biaya yang telah ditetapkan,
-               uang untuk biaya yang belum ditetapkan.
Ketentuan ini khusus untuk utang uang, sedangkan jika utang barang yang tak tergolong dalam Pasal 1412, maka point 3 ini dapat diterapkan secara analogis.
4)      Ketetapan waktunya telah tiba, jika dibuat untuk kepentingan kreditur,
5)      Syarat dengan mana utang telah dibuat, telah dipenuhi. Yang dimaksud disini adalah perikatan dengan syarat yang menunda,
6)      Penawaran harus dilakukan ditempat, di mana menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan, jika tidak ada persetujuan khusus maka penawaran harus ditujukan kepada kreditur pribadi atau tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang telah dipilih kreditur,
7)      Penawaran itu dilakukan oleh seorang notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi.
Dengan diterimanya penawaran pembayaran maka telah          terjadi pembayaran.
b.      Penitipan
Apabila penawaran pembayaran tidak diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia tawarkan.
Untuk sahnya penitipan, Pasal 1406 KUH Perdata menentukan beberapa syarat, yaitu :
1)                  sebelum penitipan kreditur harus diberitahukan tentang hari, jam dan tempat di mana barang yang ditawarkan akan disimpan.
2)                  debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan, dengan menitipkannya kepada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan, yang akan mengadilinya jika terjadi perselisihan disertai bunga sampai pada hari penitipan.
3)                  oleh notaris atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi dibuat sepucuk surat pemberitaan yang menerangkan wujudnya mata uang yang ditawarkan, penolakan kreditur atau bahwa ia tidak datang untuk menerimanya da akhirnya tentang penyimpanannya itu sendiri.
Pasal 1412 KUH Perdata memberikan ketentuan khusus untuk hal jika barang yang harus diserahkan di tempat di mana barang tersebut berada. Dalam hal ini debitur tidak perlu menawarkan pembayaran, ia dapat memperingatkan kreditur dengan perantaraan pengadilan. Peringatan tersebut harus dilakukan dengan suatu akta dan diberitahukan kepada kreditur pribadi atau alamat tinggalnya, maupun alamat tempat tinggal yang dipilih untuk melaksanakan persetujuan.
Jika kreditur tetap tidak mengambil barangnya, maka debitur dapat minta izin hakim untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain.
Akibat dari penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan membebaskan debitur dan berlaku sebagai pembayaran. Pembebasan tersebut mengakibatkan :
-                                  Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi, atau pembatalan persetujuan timbal balik dari kreditur dengan mengemukakan adanya penawaran dan penitipan.
-                                  Debitur tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.
-                                  Sejak penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.
-                                  Pada persetujuan timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi kepada kreditur.

3.      Pembaharuan utang (inovatie)
a.                  Pengertian novasi.
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1)                              Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain. Novasi obyektif dapat terjadi dengan :
-                      Mengganti atau mengubah isi daripada perikatan. /enggantian perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi lain. Misalnya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu diganti dengan kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu.
-                      Mengubah sebab daripada perikatan. Misalnya ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum diubah menjadi utang piutang.

2)                              Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain. Pada novasi subyektif pasif dapat terjadi dua cara penggantian debitur, yaitu :
Expromissie, dimana debitur semula digati oleh debitur baru, tanpa bantuan debitur semula.
Contoh : A (debitur) berutang kepada B (kreditur). B (kreditur) membuat persetujuan dengan C (debitur baru) bahwa C akan menggantikan kedudukan A selaku debitur dan A akan dibebaskan oleh B dari utangnya.
-                                      Delegatie, dimana terjadi persetujuan antara debitur , kreditur semula dan debitur baru. Tanpa persetujuan dari kreditur, debitur tidak dapat diganti dengan kreditur lainnya. Contoh : A (debitur lama) berutang kepada B (kreditur) dan kemudian A mengajukan C sebagai debitur baru kepada B. Anatar B dan C diadakan persetujuan bahwa C akan melakukan apa yang harus dipenuhi oleh A terhadap B dan A dibebaskan dari kewajibannya oleh B.

3)                                              Novasi subyektif aktif, dimana krediturnya diganti oleh kreditur lain. Novasi subyektif aktif selalu merupakan persetujuan segi tiga, karena debitur perlu mengikatkan dirinya dengan kreditur baru. Juga novasi dapat terjadi secara bersamaan penggantian baik kreditur maupun debitur (double novasi).
Contoh : A berutang Rp. 10.000.000,- kepada B dan B berutang kepada C dalam jumlah yang sama. Dengan novasi dapat terjadi bahwa A menjadi berutang kepada C sedangkan A terhadap B dan B terhadap C dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya.

b.                  Syarat-syarat novasi.
Pasal 1414 KUH Perdata menentukan bahwa novasi hanya dapat terjadi antara orang-orang yang cakap untuk membuat perikatan. Jadi jika orang yang melakukan novasi tidak cakap untuk membuat perikatan maka novasi tersebut dapat dibatalkan. Selanjutnya pasal 1415 KUH Perdata menentukan bahwa kehendak untuk mengadakan novasi harus tegas ternyata dari perbuatan hukumnya.
c.                   Akibat-akibat novasi
Menurut pasal 1418 bahwa setelah terjadi delegasi, kreditur tidak dapat menuntut debitur semula, jika debitur baru jatuh pailit. Jika telah terjadi novasi subyektif aktif, debitur tidak dapat mengajukan tangkisan-tangkisan terhadap kreditur baru yang ia dapat ajukan terhadap kreditur semula, sekalipun ia tidak mengetahui pada waktu terjadinya novasi akan adanya tangkisan-tangkisan tersebut (pasal 1419 KUH Perdata).

4.      Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427 KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
-                      Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
-                      Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
-                      Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

5.      Percampuran utang.
Yang dimaksud percampuran utang adalah percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian, sehingga kualitas sebagai kreditur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada di antara kedua belah pihak tersebut (Psal 1436 KUH Perdata).
Percampuran utang dapat terjadi karena kedudukan kreditur dan debitur bersatu dalam diri satu orang. Misalnya kreditur meninggal dan debiturnya merupakan satu-satunya ahli waris. Akibat dari percampuran utang adalah bahwa perikatan menjadi hapus, dan hapusnya perikatan menghapuskan pula borgtocht. Hapusnya borgtocht dengan pencampuran utang tidak menghapuskan utang pokok.

6.      Pembebasan utang.
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utang dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.

7.      Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa” atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

8.      Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalah batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku.

9.      Syarat yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan.

10.              Kedaluwarsa (diatur dalam Buku IV, Bab 7).
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
BAB III
MACAM-MACAM PERIKATAN

A.    Perikatan Perdata dan Perikatan Wajar/Alamiah
Perikatan Perdata adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya dapat digugat dimuka Pengadilan dalam arti dapat dimintakan bantuan hukum untuk pelaksanaannya. Sedangkan perikatan wajar/alamiah adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya tidak dapat digugat dimuka pengadilan, jadi tanpa gugat (ada schuld tanpa haftung). Pasal 1359 KUH Perdata pada perikatan alamiah, sekail orang melunasi perikatan alamiah secara suka rela maka uang pelunasan itu tidak dapat dituntut kembali. Sifat tidak ada gugatan hukum ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1359 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ”terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi tidak dapat dituntut kembali”. Perikatan wajar dapat bersumber dari undang-undang dan kesusilaan dan kepatutan.
Bersumber dari undang-undang cotohnya :
-                      Pinjaman yang tidak diminta bunganya (Pasal 1766 KUH Perdata), jika bunganya dibayar ia tidak dapat dituntut pengembaliannya.
-                      Perjudihan dan Pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata), undang-undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu hutang yang terjadi karena perjudian dan pertaruhan.
-                      Lampau waktu, segala tuntutan hukum yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya tenggang 30 tahun.

Kepailitan dalam peraturan kepailitan.
Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan contohnya :
-                      Orang kaya yang memberi uang kepada orang miskin, yang menolongnya ketika tenggelam di sungai.
-                      Memberi sokongan kepada keluarga miskin, yang menurut undang-undang tiak ada kewajibannya.
-                      Memberikan jaminan pensiun hari tua kepada pekerja tua yang telah bertahun-tahun membantu dengan setia dan jujur.
-                      Suami memberikan nafkah yang sepatutnya kepada jandanya yang ditinggalkan.

B.    Perikatan Positif dan Negatif
Perikatan positif adalah perikatan yang isinya mewajibkan debitur untuk berbuat atau melakukan sesuatu sedangkan perikatan yang negatif adalah perikatan yang melarang orang berbuat sesuatu atau mewajibkan debitur untuk membiarkan sesuatu berlangsung (perikatan untuk tidak berbuat sesuatu).

C.     Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan Perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi.
Perikatan yang dapat dibagi-bagi ialah perikatan yang prestasinya dapat dibagi-bagi. Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi adalah perikatan yang prestasinya tidak dapat dibagi-bagi. Pasal 1299 KUH Perdata menentukan bahwa jika hanya ada satu debitur atau satu kreditur prestasinya harus dilaksanakan sekaligus, walaupun prestasinya dapat dibagi-bagi.
A berkewajiban menyerahkan rumah kepada B. Ternyata A meninggal dan meninggalkan tiga orang ahli waris. Dengan demikian ketiga orang ahli waris tersebut merupakan debitur-debitur dari pada B dan karenanya B berhak menuntut penyerahan rumah tersebut dari salah seorang ahli waris. Jika sebaliknya B yang meninggal dan mempunyai tiga orang ahli waris maka mereka merupakan kreditur-kreditur terhadap A dan A dapat memenuhi prestasinya kepada salah seorang kreditur tersebut.
Prestasi yang tidak dapat dibagi-bagi dibedakan menjadi dua yaitu :
-          Menurut sifatnya.
Menurut Pasal 1296 KUH Perdata, perikatan tidak dapat dibagi-bagi jika objek daripada perikatan tersebut yang berupa penyerahan sesuatu barang atau perbuatan dalam pelaksanaannya tidak dapat dibagi-bagi baik secara nyata maupun secara perhitungan.
-                      Menurut tujuan para pihak.
Menurut tujuannya perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi jika maksud para pihak adalah prestasinya harus dilaksanakan sepenuhnya sekalipun sebenarnya perikatan tersebut dapat dibagi-bagi. Perikatan untuk menyerahkan hak milik sesuatu benda menurut tujuannya tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun menurut sifat prestasinya dapat dibagi-bagi.

D.    Perikatan Principal dan Perikatan Accessoir
Perikatan principal adalah perikatan pokok. Perikatan assesoir adalah perikatan yang tambahan. Apabila seorang debitur atau lebih terikat sedemikian rupa sehingga perikatan yang satusampai batas tertentu tergantung kepada perikatan yang lain, maka perikatan yang pertama disebut perikatan pokok sedangkan yang lainnya perikatan asessoir.

E.     Perikatan Spesifik dan Perikatan Generik.
Perikatan spesifik adalah perikatan yang prestasinya ditentukan satu per satu (terperinci). Misalnya : kewajiban untuk menyerahkan rumah tertentu yang telah ditunjuk. Sedangkan Perikatan generik adalah perikatan yang prestasinya ditentukan menurut jenisnya.
Arti penting perbedaan antara perikatan generik dan spesifik adalah dalam hal:
-                      Risiko.
Pada perikatan spesifik sejak terjadinya perikatan barangnya menjadi tanggungan kreditur. Jadi jika bendanya musnah karena keadaan memaksa, maka debitur bebas dari kewajibannya untuk berprestasi (pasal 1237 dan 1444 BW). Risiko pada perikatan generik ditanggug oleh debitur.
-                      Tempat pembayaran
Pasal 1393 KUH Perdata menentukan bahwa jika dalam persetujuan tidak ditetapkan tempat pembayaran, maka pemenuhan prestasi mengenai barang tertentu harus dilaksanakan di tempat dimana barang tersebut berada sewaktu persetujuan dibuat. Pembayaran mengenai barang-barang generik harus dilakukan di tempat kreditur.

F.     Perikatan Alternatif dan Perikatan Fakultatif
Perikatan alternatif adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan.
Menurut Pasal 1272 KUH Perdata dalam perikatan alternatif debitur bebas dari kewajibannya, jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perikatan.
      Perbedaan antara perikatan alternatif dan perikatan fakultatif yaitu :
-                      Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
-                      Pada perutangan alternatif jika benda yang satu lenyap, benda yang lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa perutangannya menjadi lenyap.

G.    Perikatan Solider atau Tanggung renteg.
Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan UU :
-                      Setiap kreditur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi dari debitur dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif).
-                      Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur atas keseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskan debitur-debitur lainnya (tanggung renteng pasif).

H.    Perikatan Dengan Ancaman Hukuman
Menurut ketentuan Pasal 1304 BW, anacaman hukuman adalah untuk melakukan sesuatu apabila perikatan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu adalah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (Pasal 1307 BW).

I.       Perikatan yang Sederhana dan Perikatan yang Berlipat Ganda.
Perikatan yang sederhana adalah perikatan yang prestasinya terdiri dari satu prestasi. Pada perikatan sederhana kewajiban yang harus ditunaikan oleh debitur adalah adalah suatu kewajiban tertentu saja dan kreditur berhak untuk menolak kalau debitur memberikan prestasi yang lain yang bukan diperjanjikan. Contohnya : pinjam pakai, kewajiban debitur adalah mengembalikan barang tertentu yang dipinjam. Naun kreditur tidak wajib untuk menerima (merasa puas) dengan pengembalian barang yang sejenis sekalipun nilainya sama atau bahkan lebih tinggi.
Perikatan yang berlipat ganda adalah perikatan yang terdiri dari beberapa prestasi. Pemenuhan dari satu prestasi belum membebaskan debitur dari kewajibannya yang lain. Contoh : pada perjanjian jual beli timbul banyak perikatan dan karenanya ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh penjual. Perikatan yang muncul adalah (1) penjual berkewajiban untuk menyerahkan barangnya (2) selama belum diserahkan, memeliharanya dengan baik, (3) penjual harus menanggung barang tersebut bebas dari sitaan dan beban-beban. Dengan penyerahan objek jual beli saja belum membebaskan penjual dari kewajiban untuk menjamin.

J.       Perikatan yang Sepintas dan Perikatan yang Terus Menerus.
Perikatan yang sepintas adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya hanya dilakukan dengan satu kali saja dalam waktu yang singkat. Umur perikatannya hanya pendek saja. Misalnya penyerahan barang dalam jual beli. Sedangkan Perikatan yang terus menerus (berlanjut) yang pemenuhan prestasinya dilakukan dengan terus menerus berkelanjutan dalam waktu yang panjang, misalnya sewa menyewa, perjanjian perburuhan, dll.

K.     Perikatan yang Murni
Perikatan murni adalah perikatan yang prestasinya dapat dipenuhi pada saat itu juga.

L.      Perikatan Bersyarat dan Perikatan dengan Ketentuan Waktu
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada syarat tertentu. Berikatan bersyarat diatur dalam Buku III Bab bagian V yang meliputi Pasal 1253 s/d Pasal 1267 KUH Perdata. Suatu perikatan adalah bersyarat jika berlakunya atau hapusnya perikatan tersebut berdasarkan persetujuan digantungkan kepada terjadiya atau tidaknya suatu peristiwa yang akan datang yang belum tentu terjadi. Dalam menentukan apakah syarat tersebut pasti terjadi atau tidak harus didasrkan kepada pengalaman manusia pada umumnya.
Menurut ketentuan Pasal 1253 KUH Perdata bahwa perikatan bersyarat dapat digolongkan ke dalam : perikatan bersyarat menangguhkan dan perikatan bersyarat yang menghapuskan.
            Pada perikatan besyarat yang menangguhkan perikatan baru berlaku setelah syaratnya dipenuhi, Misanya : A akan menjual rumahnya jika A naik jabatan jadi direktur. Jika syarat tersebut dipenuhi (A menjadi direktur) maka persetujuan jual beli mulai berlaku. Jadi A harus menyerahkan rumahnya dan B membayar harganya. Jika syarat belum dipenuhi maka kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan dan debitur tidak wajib memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasinya sebelum syarat dipenuhi maka terjadi pembayaran tidak terutang dan debitur dapat menuntut pengembaliannya.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam kitab undang-undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1 dinyatakan bahwa semua perjanjian/perikatan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, artinya apabila objek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian/perikatan tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Akan tetapi, apabila hukum perjanjian/perikatan tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian/perikatan ini dapat dibatalkan didepan hakim. Sehingga, perjanjian/perikatan tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian/perikatan ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian/perikatan.



SHARE :
CB Blogger

1 komentar:

michelle 1/12/19 15:44

test

Posting Komentar

Nugroho Pangestu . Diberdayakan oleh Blogger.
 
Copyright © 2013-2017 Nugroho Pangestu. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website | CB Blogger | Nugroho Pangestu