BAB
I
PENDAHULUAN.
Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa
menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan hilangnya
keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman
perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan
ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali
sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan
baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM,
toleransi, serta plularisme. Di antara
sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan sangat penting, setelah
sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validasi pandangan
hidup sosial politik. Tulisan ini tidak membicarakan penyikapan agama terhadap
konsep “masyarakat madani”, tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis
filosofis tentang elemen utama “masyarakat madani” yang ada dalam wawasan
Islam, di samping pengalaman praktis dalam sejarah masyarakat Muslim. Karena
itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religious attitude)
serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan unsur yang
sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, coba didiskusikan pula wawasan
Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar kehidupan berdemokrasi.
Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin
munculnya “masyarakat madani”.
BAB
2
PEMBAHASAN.
Pengertian
Masyarakat Madani.
Pengertian masyarakat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Kata
masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang
berarti golongan atau kumpulan.
Sedangkan dalam bahasa
Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society dan atau community.
Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community
dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community
sebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan
batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan
masyarakat sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat.
Kedua, community dipandang sebagai unsur
yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor
psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur
kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional.
Terdapat kata kunci
yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat madani (civil society),
yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata kunci yang memiliki eksistensi
kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai dasar bagi terbentuknya masyarakat
madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan
kualitas tertentu, seperti dalam istilah-istilah “ummah Islamiyah, ummah
Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain, merupakan penata sosial utama yang
dibangun oleh Nabi Muhammad SAW segera setalah hijrah di Madinah.
“Ummah” dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas
keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang
sama. Secara umum, seperti disyaratkan al-Qur’an, “ummah” menunjukan suatu
komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen
keagamaan, etnis, dan moralitas.
Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW di Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para
pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Ansahar). Khusus bagi kaum muhajirin,
konsep “ummah” merupakan sistem sosial alternatif pengganti sistem sosial
tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran
memeluk Islam.
Hal di atas menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang
konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering
dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah
“khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”. Istilah pertama, “khilafah”, disebutkan
sembilan kali dalam al-Qur’an, tapi kesemuanya bukan dalam konotasi sistem
politik, tapi dalam konteks misi kehadiran manusia di muka bumi. Oleh karena
itu, penisbatan konsep “khilafah” dengan institusi politik tidak mempunyai landasan
teologis.
Begitu pula dengan istilah “dawlah”, yang diartikan
negara (nation state) dan dipahami sebagai masyarakat madaniyang harus di
tegakkan, tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Kata “hukumah” yang diartikan pemerintah juga tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an memang banyak menyebut bentuk-bentuk dari
akar kata “hukumah” yaitu “hukama”, tapi dalam pengertian dan konteks yang
berbeda. Ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai untuk menunjukan adanya pemerintahan
Islam, seperti yang terdapat dalam teori “hakamiyan” (pemerintahan ilahi)
adalah dala surah al-Maidah ayat 44, 45, dan 47. Namun, perlu dicatat bahwa
pengertian kata-kata “yahkumu” dalam ayat-ayat tersebut tidak menunjukan konsep
pemerintahan.
Kata “ummah” disebut sebanyak 45 kali dalam al-Qur’am.
Baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk jamak. Penyebutan al-Qur’an dan
juga hadis menunjukan masyarakat madani. Sebagai masyarakat madani, konsep umat
Islam ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi
dari keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang
berorientasi kepada nilai-nilai Islam.
Islam merupakan agama yang universal (rahmatan
lil-alamin), maka nilai-nilai Islam harus mendatangkan kebaikan bagi alam
semesta. Prinsip kerahmatan dan kemestaan ini menuntut adanya upaya
universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai nasional ataupun
global.
Seperti telah disebutkan diatas, penyebutan kata
“ummah”dalam al-Qur’an dan al-Hadis dirangkaikan dengan sifat dan kualitas
tertentu. Hal ini menunjukan bahwa “ummah”, sebagai komunitas sosial
kualitatif, mempunyai nilai relatif. Artinya bahwa perwujudan “ummah” dalam
keragaman realitas sosial budaya kaum muslimin tidak mungkin seragam dan
bercorak tunggal. Perwujudan “ummah” akan sangat tergantung kepada realitas
sosial budaya tertentu.
Lebih dari itu, “ummah islamiyah” yang di bangun Nabi
Muhammad di Madinah merupakan model yang baik (uswatun hasanah) yang mengandung
nilai-nilai ideal pada masanya (abad ke-7). Ia mungkin saja tidak seluruhnya
relevan dengan kehidupan masyarakat pada abad modern dewasa ini (abad 21).
Masyarakat Madani sebagai cita-cita sosial Islam perlu memiliki relevansi
dengan kemodernan dan dinamika kebudayaan.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari
masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
Karakteristik
Masyarakat Madani.
Ada beberapa karakteristik
masyarakat madani, diantaranya:
1.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam
masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong
menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.
Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat
manusia.
14.
Berakhlak mulia.
Dari
beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah
sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila
diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan
dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak
adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya
hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.
Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,
hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Filsuf Yunani Aristoteles
(384-322) yang melihat masyarakat madani sebagai sistem negara atau
identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini adalah tahap pertama dari
sejarah wacana masyarakat sipil.
Selama masyarakat sipil Aristoteles dipahami sebagai
sistem negara dengan menggunakan istilah ” koinonia politike ”, yaitu
komunitas politik di mana warga dapat terlibat langsung dalam berbagai arena
ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Perumusan masyarakat sipil dikembangkan lebih
lanjut oleh Thomas Hobbes “1588-1679
M” dan John Locke (1632-1704), yang
melihatnya sebagai kelanjutan dari evolusi alam society.
According Hobbes, sebagai
antitesis dari negara masyarakat sipil memiliki peran untuk mengurangi konflik
di masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu
mengendalikan dan mengawasi erat pola interaksi “perilaku politik”
setiap warga negara.
Berbeda dengan John Locke, kehadiran
masyarakat sipil adalah untuk melindungi kebebasan dan milik setiap warga
negara.
Tahap kedua, pada tahun 1767
Adam Ferguson mengembangkan wacana masyarakat madanidengan konteks sosial dan
politik di Skotlandia.
Ferguson, menekankan visi etis dari
masyarakat madani dalam kehidupan sosial. Pemahaman ini lahir bukan dari
pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan kesenjangan
sosial yang mencolok.
Tahap ketiga, pada tahun 1792 Thomas
Paine mulai menafsirkan wacana masyarakat madani sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan lembaga-lembaga negara, bahkan ia dianggap
sebagai antitesis dari Negara. Menurut pandangan ini, Negara tidak lain
hanyalah kebutuhan buruk belaka.
Konsep negara yang sah, menurut aliran pemikiran
ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
dalam rangka menciptakan sesuatu kesejahteraan bersama.
Semakin sempurna masyarakat sipil, semakin besar
kemungkinan untuk mengatur kehidupan warga negaranya sendiri .
Tahap keempat, wacana masyarakat
madani dikembangkan lebih lanjut oleh Hegel “1770-1837
M”, Karl Marx “1818-1883 M” dan Antonio
Gramsci “1891-1937 M”. Mengingat tiga masyarakat
madani merupakan elemen ideologis kelas dominan.
Tahap kelima, wacana masyarakat
madani sebagai reaksi terhadap sekolah Hegelian dari Alexis de Tocqueville
dikembangkan “1805-1859 M”.
Pemikiran Tocqueville pada masyarakat madani
sebagai kelompok kekuatan menyeimbangkan Negara.Menurut Tocqueville, kekuatan
politik dan masyarakat madani adalah utama kekuatan yang membuat demokrasi
Amerika memiliki daya tahan kuat.
Adapun pencarian pertama dimulai istilah
masyarakat madani adalah Adam Ferguson dalam
bukunya “An Essay on the History of Civil Society”, yang diterbitkan
pada tahun 1773 di Skotlandia . Ferguson menekankan masyarakat sipil pada visi
etis bermasyarakat.
Pemahamannya hidup digunakan untuk mengantisipasi
perubahan sosial yang disebabkan oleh revolusi industri dan munculnya
kapitalisme, serta perbedaan mencolok antara individu.
Ada dua masyarakat madani dalam
sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)
Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)
Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Sifat
kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi
dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan sebuah politik yang sitandai oleh,
antara lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat
yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. Hal ini tidak aneh, karena
dari sudut konsepsi, bangunan masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan
oleh para pemikir dan filsuf lama: Plato, Aristotheles, Hobbes, Locke, Rosseau,
Bentham, Hume, dan sebagainya. Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat
mengaitkan antara islam dengan masyarakat madani. Ungkapan apresiatif atau yang
bersifat menghargai ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang
mengatakan bahwa ada kesesuaian antara islam dan konsep masyarakat madani,
bahkan kenyataan itu pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang
kali orang akan menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif.
Sosiolog terkemuka dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan,
bahwa sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan
organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi
dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal itu
tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang oleh
para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara. Dalam
hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat madani yang
dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan, keadilan, dan
partisipasi. Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku yang
diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat. Tentu,
umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya, dengan enak bani
aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya aturan-aturan yang
tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian madinah, yang
mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah
merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik modern, yang antara
lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat madani.
Disitu, yang ingin
dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih dalam bentuk dan
strukturnya yang sederhana. Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian
adalah dari mana sumber transformasi atau perubahan itu berasal. Tak ada satu
jawaban yang lebih pasti bagi kita untuk mengatakan bahwa faktor pendorong itu
adalah islam. Karena sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam
tahap awal transformasi atau perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi
disana, baik dilihat dari sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun
kehidupan sosial budaya, ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam
bahasa agama proses perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan
oleh al-Qur’an, bahwa salah satu fungsi islam adalah membawa atau mengeluarkan
masayarakat dari alam kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran islam
adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding
dengan itu, yang lebih popular adalah kehadiran islam adalah rahmat bagi alam
semesta. Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul.
Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa
itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :
Artinya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”
BAB
3
PENUTUP
KESIMPULAN.
Berdasar pada
permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang
telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani
secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana
mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau yang pengertiannya
selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan
berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut
dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya
kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat
suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan
diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam
kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa
kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II
ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat
haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah
kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa
yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan
suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat
pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu
masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di
masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia
sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar
potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki
potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan.
Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri
melalui latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
1 komentar:
ijin copy yaa
Posting Komentar