Saat seorang marah, maka tubuhnya
akan bergejolak dan tekanan darahnya naik sehingga ia mudah terserang penyakit
baik fisik maupun psikis. Sejumlah riset ilmiah menyimpulkan bahwa amarah yang
berkelanjutan dapat mengurangi usia manusia. Oleh karena itu, nabi menganjurkan
kaum muslimin agar dapat menghindari sifat pemarah. Seorang layak marah jika
kesucian atau hukum Allah ada yang dilanggar. Rasullah bersabda kepada orang
yang marah, “Jika salah seorang dari
kalian marah hendaknya ia diam.” Beliau juga bersabda, “Hendaknya seorang dari kalian tidak
memutuskan hukum di antara dua orang yang bertikai dalam keadaan marah.”
(HR. Muslim)
Al-quran menggambarkan amarah
dengan kekuatan setan yang mengalahkan manusia dan mendorongnya melakukan
perbuatan-perbuatan yang keji. Saat marah, Nabi Musa as melemparkan Lauh (Kitab
Taurat) dan menarik kepala adiknya. Namun, saat kemarahannya reda, Nabi Musa as
kembali mengambil Lauh tersebu. Allah berfirman, “Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) lauh-lauh
(Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk
orang-orang yang takut Tuhannya.” (Al-A’raf: 154). Seakan-akan amarah
adalah bisikan setan yang mendesak Musa untuk melemparkan Lauh itu.
Untuk menghindari amarah
dibutuhkan kontrol jiwa disertai dengan iman yang ikut kepada Allah. Rasullah
memuji perilaku ini dalam haditsnya, “Bukanlah
orang yang kuat itu dengan kekuatan fisiknya, tetapi yang kuat adalah orang
yang dapat menahan dirinya saat marah.”
CARA-CARA ISLAMI MEREDAKAN MARAH :
- PENGOBATAN TEORETIS
1. Mengingat dalil-dalil yang
dikandung Al-quran dan hadits tentang pujian terhadap kesabaran dan orang-orang
yang bersabar, serta mengingat besarnya pahala kesabaran yang akan didapat
dihari akhir.
2. Orang yang dikuasai amarah hendaknya
menyadari bahwa kuasa Allah lebih kuat daripada kekuatannya atas orang yang ia marahi.
Dengan demikian, Allah akan meringankan amarah dan siksa-Nya.
3. Seseorang harus mengingat
kondisi-kondisi orang yang marah. Perilaku dan perbuatan orang marah sangat
tidak terpuji. Dengan demikian, yang bersangkutan akan berpikir dengan matang
sebelum marah-marah.
Rasullah bersabda, “Tak ada takaran yang lebih besar pahala-Nya
di sisi Allah dari takaran amarah yang ditahan seorang hamba demi mencari rida
Allah.” (HR. Ibnu Majah).
- PENGOBATAN PRAKTIS
1. Membaca ta’awwudz (Kalimat: a’udzu
billah).
2. Berdoa. Rasullah telah mengajari
Aisyah sebuah doa yang patut diucapkan saat marah. Ibnu as-suni, dalam Amal
al-Yaum wa al-Lailah, menyebutkan, jika Aisyah marah, Rasullah menarik hidungnya
lalu bersabda kepadanya, “Wahai ‘Uwaisy (panggilan kesayangan beliau untuk
Aisyah), ucapkanlah: Allahumma rabb
an-nabiyyi Muhammad, ighfir li dzanbi, wa adzhib ghaidza qalbi, wa ajirni min
mudhallati al-fitani.
(Ya Allah, wahai Tuhan Muhammad,
ampuni dosaku, hilangkan amarah hatiku, dan selamatkan aku dari kesesatan
fitnah).”
3. Diam saat marah. Jika seseorang
dikuasai amarah, maka hendaknya ia diam. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasullah bersabda, “Ajarilah, permudahlah
dan jangan mempersulit. Dan jika salah seorang dari kalian marah, hendaknya ia
diam.” (HR. BUKHARI).¹³
4. Duduk dan berbaring. Apabila sikap
diam tidak memberi pengaruh apa-apa, maka duduk dan berbaring bisa menyembuhkan
amarah. Nabi bersabda, “Jika salah
seorang dari kalian marah dan ia sedang berdiri maka hendaknya ia duduk. Dan jika
marahnya belum sirna, maka hendaknya ia berbaring.” (HR. Abu Dawud).
5. Wudhu dan mandi. Jika cara diatas
tidak juga berhasil, maka hendaknya orang yang marah segera berwudhu dan mandi.
Nabi bersabda, “Marah itu dari setan, dan
setan terciptanya dari api. Api hanya bisa dipadamkan dengan air. Jika salah
seorang dari kalian marah, hendaknya ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud).
Itulah ulasan mengenai amarah dan
cara meredakan amarah menurut Islam. Jika, kita sedang marah, sebaiknya kita
mengikuti cara-cara diatas agar amarah kita reda, dan ucapkan istighfar. Selalu
bersikap sabarlah dalam kehidupan sehari-hari, agar kita selalu terhindar dari
amarah.
Sekian, sampai jumpa di artikel
selanjutnya.
Sumber: Saya kutip dari Buku “Sains
Dalam Al-Quran” karya Dr. Nadiah Tharayyatah, halaman 127-130.
Posting Komentar