WHISTLE BLOWER
Tindak
pidana korupsi adalah tindak pidana yang sulit untuk di berantas karena pelaku
tindak pidana korupsi biasanya mempunyai kedudukan ekonomi dan politik yang
kuat, sehingga tindak pidana korupsi tergolong sebagai “white collar crime, crimes as business, economic crimes,
official crime dan abuse of power.
Masalah
korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun berjalan
seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan.
Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan
tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para pelaku
korupsi.
Korupsi di
Indonesia sudah seperti wabah penyakit yang telah menjangkit dan menyebar
keseluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diartikan bagi
pejabat Negara atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, namun saat
ini masalah korupsi tidak hanya bagi pejabat negara atau pegawai negeri tetapi
telah melibatkan berbagai lembaga seperti anggota legislative, yudikatif, para
banker, konglomerat dan korporasi.
Untuk
dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai kedudukan ekonomi
dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan keberanian dan saksi yang
secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Saksi yang
mengetahui secara langsung baik terlibat secara langsung di dalamnya atau tidak
dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut “whistleblower” dan “Justice
Collaborator”.
Belakangan
ini, sepertinya aib birokrasi satu persatu mulai dibuka oleh orang-orang yang
sebenarnya sangat dekat dengan masalah itu sendiri kemudian membukanya kedepan
umum dengan alasan kejujuran yang mungkin sudah sangat langka di negeri ini.
Kasus Cek Pelawat Agus Condro, Nazarudin dan Waode Nurhayati adalah contoh yang
menjadi pembicaraan karena berhubungan dengan dua simbol negara ini. Agus
Condro merupakan anggota DPR saat itu melaporkan telah terjadi suap pemilihan
Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, sedangkan Nazarudin adalah salah
seorang petinggi “Partai Penguasa” dan Waode Nurhayati adalah salah satu
anggota DPR RI dan terakhir kasus Angelina sondakh yang juga merupakan anggota
DPR RI.
Kasus-kasus
di atas tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang dinamakan Whistleblower dan Justice Collaborator dimana para pelapor merupakan salah satu
pelaku dari tindak pidana korupsi dan mau bekerjasama dalam menuntaskan dugaan
telah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Pemberitaan
tentang whistleblower menjadi suatu
kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum, secara khusus bagi
pemberantasan korupsi. Tentu nilai kejujuran dari seseorang whistleblower perlu dicontoh dan tetap
dijunjung tinggi, mengingat kemauan berkata jujur sangat susah didapat saat
ini. Semangat seperti ini sebenarnnya harus dipacu pertumbuhannya sehingga
dapat dijadikan awal untuk menghabisi para koruptor.
Whistleblower sebenarnya
adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun pemahaman
kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower bisa saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan,
mencari sensasi, maling teriak maling. Umumnya para pelaku koruptor tidak
terlalu senang atas keberadaan seorang whistleblower,
karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging, yang sewaktu-waktu dapat
menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah fakta yang telah pernah
terjadi.
Publik
mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia
kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para
petinggi Polri. Tetapi apa yang terjadi? Susno Duadji justru diskemakan untuk
mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau
tidaknya seorang Susno Duadji juga melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal
ini perlu diapresiasi karena berdasarkan hal yang diungkapkannya secara luas,
menjadikan mata khalayak umum atau orang-orang awam yang selama ini buta dengan
kondisi sebenarnya didalam tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan
mungkin sedikit sadar mengapa negara ini tidak maju-maju.
Di
Indonesia ada kecenderungan jika seseorang mencoba melawan kekuasaan, maka
niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimal akan dikucilkan.
Pengalaman selama ini, justru memperlihatkan bahwa posisi saksi sangat rawan
dan mudah berubah menjadi tersangka, apalagi saksi tersebut lemah dalam
mengungkapkan fakta-fakta yuridis. Pelaku korupsi sering kali mempergunakan
berbagai cara untuk menyerang saksi, salah satu cara tersebut adalah
"upaya pencemaran nama baik.”
Dengan
kedudukan ekonomi dan posisi politik yang sangat kuat sangat mudah bagi pelaku
tindak pidana koruspi untuk menyerang balik saksi pelapor atau pengungkap fakta
bahkan dapat saja berbalik saksi pelapor menjadi tersangka baik dalam kasus
tersebut maupun dalam kasus-kasus yang lain.
Indonesian
Corruption Watch (ICW)
mencatat sejumlah kasus saksi pelapor
yang dimejahijaukan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kasus utama yang
dilaporkan itu sama sekali tidak diutak-atik. Catatan yang dibuat sejak 1996
tersebut menunjukkan bahwa 80% kasus yang dilaporkan terjadi di luar DKI
Jakarta. Dari data tersebut, 24 kasus pelaporan korupsi berbalik mengenai para
saksi menjadi kasus pencemaran nama baik.
Kehadiran
Whistleblower perlu mendapatkan
perlindungan agar kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam
praktiknya, kondisi tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh
banyak hal yang perlu dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya memberantas
praktik korupsi. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun 2006, Pasal
10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower
tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,
tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
yang akan dijatuhkan.
Kasus
Whistleblower sebenarnya bukan hal
baru di dunia ini, namun di Indonesia masalah Whistleblower belum mendapatkan tempat , karena peranan whistleblower sebagai pengungkap fakta
malah disudutkan. Berbeda dengan
whistleblower di negara lain, Chintya Cooper, seorang internal audit yang mengungkap kasus Worldcom disebut sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan
Chintya dalam mengungkapkan kasus tersebut mengantarkannya termasuk salah
seorang People of The Year versi Majalah
Time. Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan lebih buruk bersama dengan whistleblower lainnya.
Berbeda
halnya dengan di Indonesia, seperti kisah tentang seorang auditor BPK bernama
Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan
kasus korupsi. Begitu juga halnya dengan kasus Susno Duadji yang akhirnya
disingkirkan melalui kasus pilkada Jawa Barat semasa dirinya menjadi kapolda
Jawa Barat.
Whistleblower atau peniup
peluit kasus-kasus korupsi masih belum mendapatkan
perlindungan maksimal. Salah satu kendalanya yakni ada pada ranah penegak
hukum. Faktor sumirnya ketentuan perlindungan participant whistleblower dan
pemahaman yang terbatas dari penegak hukum telah mengakibatkan orang-orang yang mengungkap kejahatan, yang
seharusnya mendapatkan penghargaan namun pada kenyataanya dijatuhi hukuman.
Menurut
Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower
sangat penting dan diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana
korupsi. Namun demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus
korupsi maupun mafia peradilan, yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung oleh fakta konkret, bukan
semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau penuntut umum kalau ada
laporan seorang Whistleblower harus
hati-hati menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung
diterima dan harus diuji dahulu.
Kurangnya
pemahaman aparat penegak hukum terhadap sang whistleblower memang beralasan karena dalam sistem hukum di
Indonesia belum mengenal apa yang
dinamakan whistleblower. Dalam
peraturan perundang-undangan juga belum ada yang dapat dijadikan pedoman untuk
memberikan perlindungan terhadap whistleblower
tersebut.
Sampai
sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
mengenai whistleblower di Indonesia.
Pengaturannya secara implisit termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerja Sama (justice collaborator).
Surat Edaran
Mahkamah Agung tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 10 UU No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari SEMA ini adalah agar semua
kejahatan yang terorganisir yang selama ini sangat tertutup rapih dapat
diungkap secara menyeluruh jika ada yang memberikan informasi dari dalam dan
dapat dibongkar oleh para penegak hukum dan dibawa ke pengadilan untuk diadili.
UU
No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal Pasal 10
menyebutkan:
(1)
Saksi,
Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata
atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2)
Seorang
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringakan pidana yang akan dijatuhkan.
Undang-Undang No.13 tahun 2006 Pasal 10 ayat (1)
dan (2) tersebut dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower karena tidak memberikan perlindungan bagi whistleblower yang terlibat dalam
kejahatan. Begitu juga SEMA No.4 Tahun 2011 belum dapat memberikan perlindungan
hukum bagi saksi pengungkap fakta atau whistleblower
dan justice collaborator.
SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut hanya untuk
memberikan semangat perlindungan terhadap whistleblower
dan justice collaborator, namun tetap
dihukum jika merupakan bagian dari pelaku.
Bagi aparat penegak hukum baik polisi maupun
jaksa UU No. 13 tahun 2006 dan SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut belum dapat
memberikan perlindungan secara hukum bagi kebaradaan whitleblower. SEMA No.4 tahun 2011 juga hanya berlaku intern
dikalangan hakim sebagai bahan pertimbangan yang meringankan untuk memutus
perkara whistleblower dan justice collaborator yang terlibat dalam
kasus.
Belum adanya perlindungan secara yuridis
terhadap sang whistleblower dan Justice collaborator memang dikhawatirkan akan
memutus generasi whistleblower yang
baru. Padahal jika mau jujur, demi penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, peranan sang whistleblower dan Justice Collaborator menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk
dijadikan alat membuka sindikat mafia koruptor.
Peranan sang whistleblower dan Justice
collaborator dalam membuka para
sindikat koruptor besar selama ini tidak terpikirkan
dan tidak terduga. Gayus Tambunan pegawai biasa golongan III/A di Dirjen Pajak melakukan hal yang diluar
kebiasaan atau luar biasa mempunyai uang
miliaran rupiah hasil dari mafia perpajakan diungkap oleh whistleblower.
Berdasarkan
persoalan di atas
maka kita mencoba mengurai
bagaimana bentuk perlindungan terhadap Whistleblower
dan justice collaborator serta
bagaimana perlindungan hukumnya yang ideal di Indonesia. Diharapkan dengan
adanya perlindungan hukum bagi kehadiran whistleblower
dan justice collaborator dapat dijadikan salah satu upaya untuk memberantas
pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Potret Perlindungan Whistle Blower di
Indonesia
Istilah whistle blower menjadi
popular semenjak digencarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia sebagai terobosan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi (extra
ordinary crime). Pasalnya perkembangan modus kasus korupsi semakin meluas,
merajalela dan semakin canggih baik di sektor publik maupun swasta yang mana
berdampak pada moralitas norma anak bangsa sehingga membutuhkan strategi dan
metode baru dalam menangani kasus ini.
Istilah whistle blower dalam
Bahasa Inggris arti peniup peluit atau saksi pelapor, dikatakan demikian
layaknya dalam pertandingan sepak bola seorang wasit meniup peluit sebagai
pengungkapan fakta akan adanya suatu pelanggaran. Dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia artinya saksi mahkota, maksudnya salah satu pelaku tindak pidana
dijadikan sebagai saksi kunci untuk mengungkapkan pelaku- pelaku siapa saja yang
terlibat dalam kasus tersebut dengan di imingi hadiah berupa pengurangan
ancaman hukuman.
Seorang Whistle blower perlu
diapresiasi setinggi- tingginya dengan keberanian dan semangat tinggi dalam
mengungkap pelaku tindak pidana korupsi, sehingga kehadirannya dijadikan awal
suatu kegembiraan tersendiri bagi upaya penegakan hukum untuk menumpas para
koruptor.
Bagaimana tidak? keberhasilan seorang penegak
hukum dalam mengungkap dan membuktikan seorang melakukan tindak pidana korupsi
bergantung pada salah satunya keterangan saksi. Sebab, seorang saksi memberikan
keterangan berdasarkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan dialaminya
tentang kejadian/peristiwa tersebut.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) memang belum memberikan definisi yang jelas
mengenai kedudukan seorang pelapor whistle blower, namun ketidak
jelasan pengertian tersebut tentu tidak menghilangkan hak- hak yang mereka
dapatkan sebagai seorang whistle blower, pasalnya kedudukannya
mereka hakikatnya sama sama dianggap sebagai seorang saksi ketika melaporkan
suatu kasus tersebut.
Namun kenyataannya, mereka (whistle blower)
dalam mengungkap tindak pidana korupsi mengalami berbagai ancaman dan
intimidasi dari pihak bersangkutan seperti ancaman fisik, ancaman psikis,
ancaman pelaporan balik, bahkan ancaman diberhentikan dari jabatannya secara
tidak hormat.
Kriminalisasi para pelapor tindak pidana
korupsi semakin nyata, di sini lah letak kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK RI) memiliki peran yang strategis dalam melindungi
seorang whistle blower berupa hak untuk untukcmemperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi keluarga dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan laporan, kesaksian, yang akan, sedang dan
telah diberikannya, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hingga
bantuan mendapatkan penasehat hukum supaya mereka memiliki keberanian untuk
melanjutkan pengungkapan, memberikan keterangan/kesaksian hingga berujung pada
persidangan di pengadilan Tipikor.
Peran saksi whistle blower sangat
dibutuhkan dalam mengungkap mafia kasus korupsi, lebih- lebih negara dihadapkan
dengan menguatnya kompetensi perekonomian makro, liberalisasi politik
hingga pemberantasan yang digencarkan oleh penegak hukum ataupun berbagai kalangan
yang mana akan berpengaruh pada perbaikan- perbaikan di bidang ekonomi,
politik, sosial dan hukum.
LPSK menjadi salah satu lembaga yang
diharapkan dapat melindungi whistle blower karena tugas dan
fungsinya yang melindungi saksi dan korban, sebagaimana diamanahkan dalam UU
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK dalam praktiknya
menerima permohonan perlindungan dan meminta bantuan dari
seorang whistle blower untuk mendampingi mereka untuk
melaporkan kejahatan yang mereka ketahui ke aparat penegak hukum.
Melihat peran seorang whistle blower yang
begitu signifikan di hadapan hukum, namun dalam realitanya ancaman dan
intimidasi terhadap para whistle blower masih tinggi. Di tahun
2013 Susno Djuaji mengungkapkan skandal rekayasa perkara yang membebaskan Gayus
Tambunan dari dakwaan pencucian uang dan mafia pajak yang ada kaitanya dengan
rekening gendut di rekening para petinggi Polri. Namun apa yang terjadi dalam
pengungkapannya? Malahan Susno Djuaji dilaporkan balik atas tuduhan kasus Arwana
dan Kasus Pilkada Jabar yang dihukum 3,5 tahun pidana penjara. Di sini terlihat
bahwa para penyidik kurang memperhatikan waktu yang tepat untuk kasus yang
berbeda yang dialami oleh Susno Djuaji sebagai whistle blowerdalam
kasus Arwana dan Pilkada Jabar, sehingga berdampak pada membungkamnya
kehadiran whistle blower lainnya karena pelaporan kasus Susno
Djuaji dapat diduga sebagai pembalasan oleh para oknum pelaku yang dilaporkan
oleh whistle blower.
Selanjutnya di tahun 2016 yang di lansir
oleh Institute for Criminal Justice Reform, kasus ancaman whistle
blower, dimana 10 orang pelapor kasus Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan
yang melaporkan dugaan suap kepada anggota DPRD Kabupaten Tanggamus terkait
dengan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran
2016 mengalami serangan balik/ intimidasi yaitu diancam secara fisik, ancaman
psikis, dan ancaman administrasi berupa peringatan adanya Pergantian Antar
Waktu sebagai anggota DPRD, hingga ancaman karir terhada keluarga para pelapor
yang menjadi PNS di Pemkab Tanggamus.
Secara yuridis, UU (13/2006) tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) menempatkan
seorang pelapor di posisi terlindungi hak- hak nya sebagai saksi. Namun dalam
rumusan pasal 10 ayat (2), terdapat kelemahan yang mana penyidik menetapkan
pelapor kasus korupsi menjadi tersangka, yang kemudian dilakukan penahanan
secara sepihak tanpa memperimbangkan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban
tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, pasal 10 ayat (2) tidak
memberikan kepastian hukum yang jelas terhadap keberadaan seorang whistle
blower yang mana satu sisi memberikan perlindungan akan hak- haknya
sebagai saksi, namun sisi lain, whistle blower tidak diberikan
jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana.
Oleh karena itu, dukungan politik dan
pemerintah untuk memperbaiki system pelaporan whistle blower dan
memperkuat peran fungsi LPSK RI dalam melindungi whistle blower perlu
dioptimalkan, sehingga sang pelapor dapat mengungkap
kesaksiannya bebas, aman, dan mendapatkan kepastian hukum oleh negara.
Perlindungan Hukum Saksi Whistle
Blower
Problem yang sering muncul dalam penanganan
perlindungan seorang whistle blower adalah munculnya
permasalahan baru yang seolah- olah permasalahan itu adalah bentuk pelanggaran
dan umumnya ditangani penegak hukum secara berbeda. Posisi ini menimbulkan
risiko benturan konflik kepentingan dimana orang yang dilaporkan oleh si whistle
blower dengan segala usahanya melakukan upaya untuk menghalang-
halangi langka si pelapor.
Oleh karena itu, pemerintah menjamin si whistle
blower dalam mengungkap skandal kasus korupsi melalui peraturan-
peraturan atau undang- undang demi mendapatkan kepastian hukum. beberapa
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Mahkamah Agung yaitu Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, point penting yang terkandung
dalam SEMA ini yaitu memberikan reward berupa perlakuan khusus
terhadap orang orang yang dikategorikan sebagai whistle blower dan
saksi yang bekerja sama (justice collaborator).
Reward tersebut
berupa keringanan pidana,dan jika yang dilaporkan melaporkan balik whistle
blower maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan
oleh nya didahulukan dibandingkan laporan dari pihak lawan
yang dilaporkan oleh whistle blower.
Di sisi lain, whistle blower juga
dijamin oleh UU No. 31 Tahun 2014 j.o UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dimana dalam pasal 10, si whistle blower tidak
dapat dituntut secara pidana maupun perdata dan laporan yang akan, sedang atau
telah diberikan kecuali laporan kesaksiannya diberikan tidak dengan iktikat
yang baik. Apabila whitsle blower terdapat tuntutan hukum terhadapnya maka
penegak hukum wajib menundanya hingga kasus yang ia laporkan telah diputuskan
oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tidak hanya itu, pasal 10 A UU (31/2014)
semakin mengukuhkan kedudukan whistle blower dan LPSK, yang mana pemberian hak
perlindungan kepada whistle blower berupa perlindungan fisik
dan psikis, perlindungan hukum, penanganan khusus, dan memperoleh penghargaan.
Semua hak itu dapat diperoleh oleh whistle blowerdengan persetujuan
atau pemberian rekomendasi LPSK kepada Jaksa dan Hakim.
Dengan demikian, peran kapasitas LPSK dalam
pemberian perlindungan kepada whistle blower samakin optimal
sesuai dengan kebutuhan dalam mengadvokasi dan bekerja sama dengan lembaga
lain, ke-eksisten ruang lingkup kerja LPSK berada pada proses peradilan pidana
semakin diakui oleh undang- undang. Sehingga masyarakat semakin optimis dengan
keberadaan LPSK.
Hambatan atau masalah apa saja yang muncul
dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower)?
Beberapa hal yang menjadi hambatan dan
masalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) dalam perlindungan saksi
dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower), yaitu:
1. Belum
adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistle
blower, undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor
dan korban. Kalau pun ada hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI
(“SEMA”) yaitu SEMA Nomor 4 Tahun
2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan
Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara
Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan
Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK
tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama.
2. Belum
adanya pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan
perlindungan terhadap whistle bower, kesepakatan bersama hanya di
tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah.
3. Belum
maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistle blower. Hal ini karena
Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status
seseorang sebagai whistle blower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya
tidak punya kekuatan hukum mengikat.
4. Peran
LPSK masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.